THE GREAT RIVALRY part 1

THE GREAT RIVALRY part 1 | BasketanAja

 

Jordan dan Isiah Thomas

Sikut menyikut, permainan keras menjurus kasar, sampai pemilihan tim untuk olimpiade Barcelona ‘92. Semua hal itu tertuang dalam sebuah rivalitas keras antara dua tim NBA diakhir decade 80-an. Yup, semua pasti ingat rivalitas antara Detroit Pistons dan Chicago Bulls, terutama pada season 1988-1989,1989-1990, sampai 1990-1991. Michael Jordan versus Isaiah Thomas. Pistons meraih dua gelar mereka pada 1989 dan 1990 setelah mengandaskan mimpi Michael Jordan muda bersama Bulls. Memang mereka berada di satu wilayah, yaitu wilayah timur, tetapi persaingan mereka menjadi bumbu yang menghiasi musim-musim tersebut. The Great Rivalry, Bulls vs Pistons.

Di sepanjang sejarah NBA memang ada beberapa rivalitas klasik yang menarik untuk dicermati, namun tidak sekeras dan sekasar Bulls versus Pistons. Sebelum era tersebut, ada rivalitas antara LA Lakers dan Boston Celtics, antara Earvin “Magic” Johnson dan Larry Bird. Namun rivalitas tersebut tidaklah sesengit Bulls versus Pistons. Lakers versus Celtics lebih mengarah ke prestasi tim, pertemuan mereka di final NBA, dan juga publisitas kedua bintang mereka Magic dan Bird. Sementara Pistons dan Bulls, benar-benar mendarah daging. Kebencian antara bintang-bintangnya kerap menimbulkan permainan keras cenderung kasar. Siapa yang tidak ingat ulah Dennis Rodman yang mendorong secara keras Scottie Pippen, yang menyebabkan mulut Pippen mengucurkan darah? Atau penolakan Jordan untuk bermain di Dream Team jika Thomas ikut bermain? Yup semua itu seakan menandakan kebencian di antara kedua tim yang begitu mengakar sampai kepada pemain-pemainnya.

The Beginning

Rivalitas mereka dimulai pada musim 1987-1988 pada Eastern conference semifinals, Pistons merupakan tim yang sedang berkembang pesat, dan Michael Jordan adalah yang terbaik musim itu, dengan menyapu bersih semua gelar regular yang ada, termasuk MVP,allstar MVP regular season dan satu-satunya gelar Defensive Player of the Year-nya. Setelah melewati Cleveland Cavaliers di babak pertama dengan skor 3-2, Bulls bertemu Detroit Pistons di babak ke-dua.  Detroit Pistons memenangi game pertama dengan keunggulan 11 angka, yang dibalas oleh Chicago Bulls yang memenangi game ke dua dengan skor 105-95. Dan hasil itu adalah satu-satunya kemenangan Bulls atas Pistons di seri itu, setelah itu Pistons mengambil alih dua game di Chicago dengan keunggulan 22 point dan 19 point sebelum menutupnya dengan kemenangan 102-95 dikandang sendiri, meskipun Isaiah Thomas sempat tak sadarkan diri akibat terkena sikut Jordan yang menambah sengit persaingan ini. Pistons maju ke babak Final NBA setelah mengalahkan Boston Celtics untuk menantang Lakers. Pistons mengakhiri musim itu dengan kekalahan 3-4 dari Lakers.

Isiah Thomas (Pistons) di jaga oleh Jordan (Bulls)

The Heated Rivalry

1988-1989

Memasuki musim 1988-1989 persaingan mereka menjadi semakin sengit. Pistons yang menyelesaikan musim dengan rekor menang kalah 63-19 menempati peringkat pertama, ditantang Chicago Bulls di final wilayah timur. Bulls yang tampil secara mengejutkan, mengalahkan Cleveland Cavaliers (yang dikenang public sebagai “the Shot”, yaitu buzzer beater Jordan melewati Craig Ehlo) dan New York Knicks di babak sebelumnya, unggul 2-1 atas Pistons. Namun sesudah itu Detroit Pistons memainkan sebuah strategi yang dikenal dengan “Jordan Rules”, sebuah strategi yang menghalalkan segala cara untuk menghentikan Michael Jordan. Yup, segala cara. Mulai dari permainan keras menjurus kasar, termasuk diantaranya upaya membuat Jordan kehilangan keseimbangan sampai usaha untuk mencegah dia sekedar mendapatkan bola. Mereka kerap kali men-double team dia, begitu Jordan menerima bola dan memaksanya untuk melakukan Turnover atau mempassingnya. Pistons kembali menang atas Bulls kali ini dengan 4-2 untuk melaju ke final NBA. Di final, Pistons bertemu Lakers kembali dan kali ini mereka memenangkan seri dan menjadi juara NBA. Musim ini juga menjadi akhir dari karir Doug Collins sebagai pelatih Chicago Bulls, dan digantikan dengan Phil Jackson.

1989-1990

Permulaan dari sebuah era baru dibawah kepelatihan Phil Jackson, Bulls mencoba mencari cara untuk mengatasi “Jordan Rules”. Triangle Offence pun, muncul sebagai sebuah jalan keluar. Dengan membagi tanggung jawab ke semua tim, bukan hanya kepada Jordan, Bulls meraih rekor menang kalah (55-27) terbaik kedua musim itu dibawah Pistons. Seakan sudah menjadi takdir, Bulls kembali bertemu Detroit Pistons di final wilayah timur, untuk kedua kalinya secara berturut-turut. Kali ini Bulls tampak semakin siap dan semakin dekat dengan gelar juara. Adalah triangle offence melawan Jordan rules, dan tampaknya Phil Jackson sudah menemukan jawaban atas taktik Pistons. Tetapi Pistons adalah Pistons, terutama pada musim itu. Walau harus melayani Bulls dalam seri yang sangat ketat, sampai ke game tujuh. Pistons akhirnya kembali melaju ke final NBA 1989-1990. Dan mempertahankan gelar juara NBA mereka secara back to back, setelah mengalahkan Portland dengan 4-1. Meskipun demikian ada sebuah pertanyaan yang sampai sekarang masih menggantung, jika Pippen dalam kondisi fit (saat itu Pippen mengalami migraine yang mengakibatkan dia bermain buruk hanya menghasilkan dua points) apakah hasilnya akan tetap sama? Akankah Pistons yang melaju ke final ataukah Bulls?

Bersambung ke part. 2

 

Comments

Popular Posts